Hukum Menerima Sedekah Dari Harta Haram

Hukum Menerima Sedekah Dari Harta Haram

Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?

Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu  shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari penjelasan Syaikh Kholid Mihna, http://www.almoslim.net/node/82772]

Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram. Wallahu a’lam. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1429 H

Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kedelapan, tahun 1419 H.

Shifat Hajjatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifi, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, 1433 H.

Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Al Mukhtashor, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri, terbitan Dar Kunuz Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan kedua, tahun 1433 H

http://www.almoslim.net/node/82772

@ Sakan 27, Jami’ah Malik-Su’ud, Riyadh-KSA, 4 Shofar 1434 H (saat winter 7oC)

Dalam konteks Islam, sedekah adalah tindakan mulia yang sangat dianjurkan dan memiliki banyak keutamaan. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana hukum sedekah jika dilakukan dengan uang yang diperoleh secara haram? Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai hukum sedekah dengan uang haram, dengan merujuk pada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis serta pandangan para ulama.

Definisi Sedekah dan Uang Haram

Sedekah adalah pemberian atau infak yang diberikan kepada orang yang membutuhkan dengan niat ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah. Sedekah tidak terbatas pada harta saja, tetapi juga bisa berupa waktu, tenaga, atau ilmu.

Uang haram, di sisi lain, adalah uang yang diperoleh dari sumber yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Ini termasuk hasil dari riba, perjudian, korupsi, atau bisnis yang melibatkan barang haram seperti alkohol atau daging babi.

Haji dan Shalat dengan Harta Haram

Dari pembahasan ini, para ulama memiliki bahasan apakah shalat di tanah rampasan itu sah ataukah tidak. Imam Ahmad berpendapat tidak sahnya. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat sahnya tetapi berdosa.

Begitu pula para ulama membahas bagaimana jika ada yang berhaji dengan harta haram, sahkah hajinya? Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam masalah ini, namun yang masyhur, hajinya tidak sah. Landasannya adalah hadits yang mengatakan bahwa Allah hanya menerima dari yang thoyyib. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sahnya haji dengan harta haram, namun hajinya tidak mabrur. Sehingga wajib bagi yang ingin melaksanakan haj memperhatikan harta yang ia gunakan.

Kita dapat mengambil pelajaran pula bahwa Allah hanyalah menerima dari yang bertakwa, di antara bentuk takwa adalah menjaga diri dari penghasilan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Allah hanya menerima dari orang yang bertakwa” (QS. Al Maidah: 27). Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang mengenai makna ‘muttaqin’ (orang yang bertakwa) dalam ayat tersebut dan beliau menjawab bahwa yang dimaksud adalah menjaga diri dari sesuatu yang tidak halal yang masuk ke dalam perut. Demikian dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 262. Lihat pula pembahasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi dalam Shifat Hajjatin Nabi, hal. 39-40 dan Syaikh Sa’ad Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 92.

Sedekah dengan Harta Haram

Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:

1- Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.

2- Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.

3- Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224). Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.

Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang  lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam,

1- Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

2- Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad.  Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.

Hukum Sedekah dengan Uang Haram

Salah satu prinsip penting dalam Islam adalah bahwa amal perbuatan harus dilakukan dengan cara yang baik dan dengan sumber yang halal. Dalam konteks sedekah, menggunakan uang haram tidak sesuai dengan prinsip ini.

Dalil dari Al-Qur’an dan Hadis:

Konsekuensi dari Sedekah dengan Uang Haram

Melakukan sedekah dengan uang yang diperoleh secara haram memiliki beberapa konsekuensi serius:

Hanya Diterima yang Halal

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).“ (HR. Muslim no. 1015). Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadits tentang sedekah. Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللَّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوصَهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ

“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).

Halal Mempengaruhi Amalan Sholih

Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam (1: 260) berkata, “Dalam hadits ‘Allah tidaklah menerima selain dari yang halal’ terdapat isyarat bahwa amal tidaklah diterima kecuali dengan memakan yang halal. Sedangkan memakan yang haram dapat merusak amal dan membuatnya tidak diterima.” Oleh karena itu, setelah mengatakan Allah tidak menerima melainkan dari yang halal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawakan ayat yang berisi perintah yang sama pada para Rasul dan orang beriman,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Mu’minun: 51).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” (QS. Al Baqarah: 172).

Yang dimaksud dengan ayat tersebut, para Rasul dan umat mereka diperintahkan untuk mengkonsumsi yang halal dan diperintahkan pula untuk beramal sholih. Jika yang dikonsumsi adalah yang halal, maka amalan sholihnya diterima. Jika yang dikonsumsi adalah yang haram, maka bagaimana bisa diterima? Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah di atas menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a,

يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?“ (HR. Muslim no. 1014)

Dijelaskan pula oleh Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah, anggota Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika menjelaskan hadits ‘Allah hanya menerima dari yang halal’ bahwa memakan makanan yang halal bisa menolong dalam melakukan ketaatan pada Allah karena beramal sholih diperintahkan setelah perintah memakan makanan yang halal. Jadi, semakin baik makanan yang kita konsumsi, semakin mudah pula kita dalam beramal. Lihat Al Minhah Ar Robbaniyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 137. Juga lihat bahasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 163.

Editor: Leonardo Ferdian |

RAKYATBENTENG.BACAKORAN.CO – Zakat sebagai kewajiban dalam Islam, merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mesti dipenuhi oleh setiap muslim. Seiring dengan itu, sedekah juga memiliki peran penting dalam kehidupan umat Islam, di mana memberikan dengan ikhlas untuk membantu sesama merupakan ajaran yang sangat dianjurkan.  Namun, prinsip utama yang harus diperhatikan dalam memberikan zakat dan sedekah adalah bahwa sumber pendapatan yang digunakan haruslah halal. Dalam Islam, kehalalan sumber pendapatan menjadi faktor kritis dalam menentukan keabsahan zakat dan sedekah.

BACA JUGA:Mitos Atau Fakta, Makan Buah Alpukat Bikin Gemuk? Cek Jawabannya Disini!Dilansir dari rbtv.disway.id, menerima zakat atau sedekah dari uang yang diperoleh secara haram, seperti dari praktik yang melanggar prinsip-prinsip syariah, dapat menimbulkan ketidakjelasan dalam keabsahan amalan tersebut. Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang apakah menerima sedekah dari uang haram diperbolehkan dalam Islam.  Ustadz Dasad Latif menjelaskan bahwa kaidah terkait uang haram adalah sangat ketat dalam Islam. Uang yang diperoleh dari aktivitas seperti menang lotre atau judi, bisnis prostitusi, atau sumber yang jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip syariah, tidak dapat diterima ketika digunakan untuk membangun masjid atau kegiatan amal lainnya. Allah dianggap Maha Suci dan hanya menerima yang suci.

BACA JUGA:Ini Cara Praktis Atasi Sakit Tenggorokan, Gak Perlu Pakai ObatPentingnya kehalalan sumber pendapatan juga ditegaskan dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa Allah hanya menerima yang baik (thoyyib). Meskipun demikian, Ustadz Dasad Latif menyampaikan bahwa dalam beberapa kondisi tertentu, ketika seseorang atau lembaga penerima sedekah tidak mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari sumber haram, misalnya hadiah atau sedekah dari orang yang bisnisnya tidak diketahui secara pasti, penggunaan harta tersebut tidaklah dianggap dosa. Namun, jika pemberi sedekah dikenal sebagai orang dengan citra buruk yang dekat dengan rezeki haram, maka akan muncul pertanyaan etis. Dalam konteks ini, seseorang atau lembaga penerima sedekah dapat mempertimbangkan kebijakan atau prosedur untuk menilai runutan harta yang disedekahkan, memastikan kehalalannya, dan menentukan langkah yang akan diambil berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

BACA JUGA:Fakta Dibalik Segarnya Es Teh, Bisa Picu Gagal Ginjal, Stroke Hingga JantungUstadz Dasad Latif menjelaskan bahwa pandangan ulama terkait uang haram, seperti uang panas, memiliki dua perspektif yang berbeda. Beberapa ulama berpendapat bahwa meskipun diketahui sebagai uang haram, keberadaan sedekah dapat memutuskan kaitan haramnya. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa jika seseorang mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari sumber yang haram, sebaiknya uang tersebut ditolak. Beberapa ulama berpendapat bahwa meskipun diketahui sebagai uang haram, keberadaan sedekah dapat memutuskan kaitan haramnya. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa jika seseorang mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari sumber yang haram, sebaiknya uang tersebut ditolak. Dalam konteks uang syubhat, yang mencakup uang hasil temuan, uang dari undian, atau pemberian yang tidak diyakini kehalalannya, Ustadz Dasad Latif menyatakan bahwa harta syubhat dapat dibersihkan dengan zakat dan sedekah. Namun, dalam hal uang hasil temuan, disarankan untuk mengumumkan secara luas. Jika tidak ada yang mengambil, sebaiknya disedekahkan dengan niat pahalanya untuk pemilik uang, dan pahala bersedekah juga diberikan kepada yang menemukan. Ustadz Dasad Latif menjelaskan bahwa uang yang diperoleh secara haram tidak dapat dibersihkan dengan cara sedekah, melainkan akan menjadi hak api neraka. Rasulullah SAW telah menyampaikan dalam sabdanya bahwa daging badan yang tumbuh dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka. Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan: Artinya: "Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka." (HR. Tirmidzi No. 614). Ustaz Dasad Latif menyarankan untuk segera bertaubat dengan mengikuti 5 langkah berikut ini: 1. Mengucapkan istighfar (Astaghfirullah) 2. Mengakui perbuatannya 3. Berkomitmen untuk tidak mengulanginya 4. Mengganti perbuatan tersebut dengan kebaikan, seperti memberikan zakat dan sedekah 5. Jika terkait dengan harta, segera mengembalikannya. Misalnya, jika harta tersebut diperoleh dari cara yang haram, seperti motor, walaupun sudah bertaubat, sebaiknya segera mengembalikannya kepada yang berhak. Bertaubat dianggap sebagai langkah yang paling benar untuk menjalani kehidupan yang tenang di masa depan. Ustaz Dasad Latif menegaskan bahwa jika kita bertaubat, harta yang diperoleh dari cara yang tidak benar harus disalurkan kepada orang yang berhak, sehingga dosa yang terkait dapat dihapuskan. Dalam kesimpulannya, menerima sedekah dari uang haram dalam Islam menimbulkan ketidakjelasan dan keraguan terhadap keabsahan amalan tersebut. Prinsip utama yang harus diperhatikan dalam memberikan zakat dan sedekah adalah kehalalan sumber pendapatan. Uang yang diperoleh dari aktivitas yang melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti judi, prostitusi, atau kegiatan yang jelas-jelas haram, tidak dapat diterima ketika digunakan untuk amal, seperti membangun masjid.Ustadz Dasad Latif menegaskan bahwa Allah hanya menerima yang suci, dan keberadaan uang haram dapat mempengaruhi keabsahan amalan keagamaan. Meskipun ada pengecualian dalam situasi di mana penerima sedekah tidak mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari sumber yang haram. Dalam menghadapi uang syubhat, seperti hasil temuan atau pemberian yang tidak diyakini kehalalannya, harta tersebut dapat dibersihkan dengan zakat dan sedekah, tetapi transparansi dalam pengumuman penting. Namun, uang hasil dari aktivitas yang jelas-jelas haram tidak dapat dibersihkan dengan cara sedekah. Pentingnya bertaubat menjadi penekanan dalam menjalani kehidupan yang benar di masa depan. Bertaubat melibatkan mengakui kesalahan, berkomitmen untuk tidak mengulanginya, menggantinya dengan kebaikan, dan jika berkaitan dengan harta, mengembalikannya kepada yang berhak. Dengan bertaubat, harta yang diperoleh dari cara yang tidak benar dapat disalurkan kepada orang yang berhak, sehingga dosa yang terkait dapat dihapuskan. Demikian penjelasan mengenai bolehkah menerima sedekah dari uang haram, semoga kita semua mendapatkan rezeki yang halal dan terhindar dari kemaksiatan dunia.(**)

Harta yang haram itu mempunyai beberapa gambaran dan kondisi yang bermacam-macam. Bisa jadi ia haram karena dzatnya atau haram karena cara mendapatkannya. Harta yang haram karena cara mendapatkannya bisa jadi diterima karena sukarela dari pemiliknya atau tanpa dengan sukarela. Bisa jadi pelakunya sudah mengetahui akan keharamannya, atau tidak mengetahui atau karena takwilannya, dan setiap kondisi ada hukumnya tersendiri.

Barang siapa yang mencari harta yang haram dzatnya atau apa saja yang dilarang oleh syari’at untuk diperjual belikan, dimanfaatkan atau digunakan, dengan cara apapun, maka tidak perlu dikembalikan kepada pemiliknya, dia pun tidak boleh mengambilnya, ia pun tidak boleh memanfaatkannya untuk jual beli, diberikan sebagai hadiah, dimanfaatkan atau yang lainnya.

Harta yang haram karena dzatnya, maksudnya adalah semua benda yang keharamannya berkaitan dengan dzatnya, seperti; khamr, berhala, babi, dan lain sebagainya.

Barang siapa yang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar tanpa izin dan ridho dari pemiliknya, seperti; harta hasil curian, ghasab (mengambil tanpa izin), korupsi dari dana umum, atau yang didapat karena curang dan menipu, bunga riba yang dibayarkan oleh pemiliknya secara darurat dan terpaksa, uang suap yang dibayarkan oleh pelakunya dengan terpaksa untuk mendapatkan haknya, dan lain sebagainya. Harta seperti ini wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan ia tidak akan terbebas tanggung jawab kecuali dengan itu.

Jika dia telah terlanjur membelanjakan atau menggunakannya, maka akan tetap menjadi hutang bagi dirinya sampai ia mampu mengembalikannya kepada pemiliknya.

Ibnul Qayyim berkata:

“Jika yang diterima telah diambil tanpa ridha dari pemiliknya, juga tidak terpenuhi penggantinya, maka harus dikembalikan kepadanya, jika kesulitan untuk mengembalikan, maka menjadi hutang yang diketahui oleh pemilik harta sebelumnya,  jika tidak bisa melunasinya, maka ia kembalikan kepada ahli warisnya, jika tidak mungkin maka ia sedekahkan sejumlah harta tersebut.

Jika pemilik hak memilih untuk mendapatkan pahala pada hari kiamat, maka itu menjadi haknya, jika ia tidak mau kecuali akan mengambil amal kebaikan orang yang mengambil haknya, maka ia sempurnakan sejumlah harta tersebut dan pahala sedekahnya menjadi pahala orang yang mensedekahkannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dari para sahabat –radhiyallahu ‘anhum-“. (Zaad Al Ma’ad: 5/690)

Rincian pembicaraan seputar masalah harta yang haram ini pada jawaban soal nomor: 83099, 169633.

Barang siapa yang mencari harta yang haram dengan cara transaksi yang haram, karena ia belum memahami keharaman transaksi ini, atau ia meyakini boleh karena ada fatwa yang terpercaya dari ulama, maka hal ini tidak ada konsekuensi apapun, syaratnya ia bersegera untuk berhenti melakukan transaksi haram tersebut kapan saja ia mengetahui keharamannya, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”. (QS. Al Baqarah: 275)

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Adapun yang tidak ada keraguan di dalamnya menurut kami adalah: apa yang ia terima karena penafsiran atau karena ketidaktahuannya, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) tanpa ada keraguan, sebagaimana tuntunan dari Al Qur’an dan As Sunnah dan ibrah yang ada”. (Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsir min Al ‘Ulama’: 2/592)

“Harta yang didapat oleh seseorang dari bentuk transaksi yang masih ada perdebatan di kalangan umat, karena beda penafsiran dan diyakini bolehnya dengan ijtihad, atau karena taqlid, atau karena sama dengan beberapa ulama, atau karena sebagian mereka telah berfatwa demikian, dan lain sebagainya.

Semua harta yang mereka terima ini, tidak perlu mereka keluarkan, meskipun ternyata setelah itu mereka salah dalam transaksi tersebut dan terjadi kesalahan dalam fatwa…

Seorang muslim yang berbeda penafsiran tersebut dan meyakini bolehnya jual beli, sewa menyewa dan transaksi yang bersumber dari fatwa sebagian ulama, jika telah menerima keuntungan namun ternyata terbukti setelahnya bahwa pendapat yang benar adalah haram, maka harta yang sudah didapat tidak menjadi haram kerena telah mereka terima berdasarkan takwil/penafsiran tadi”. (Majmu’ Al Fatawa: 29/443)

“Barang siapa yang mengerjakan sesuatu sementara ia belum mengetahui akan keharamannya, lalu setelah itu ia mengetahuinya, maka tidak bisa diberikan sanksi, dan jika ia mengerjakan transaksi ribawi yang diyakini bahwa hukumnya boleh, ia pun telah menikmati keuntungannya, kemudian mendapatkan petunjuk dari Tuhannya dan berhenti, maka tetap menjadi miliknya apa yang telah lalu”. (Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsirin min Al Ulama: 2/578)

Dan di dalam Fatawa Lajnah Daimah lil Ifta’ disebutkan:

“Kurun waktu selama anda bekerja di bank, kami berharap semoga Allah berkenan untuk mengampuni anda, harta yang sudah anda kumpulkan dan anda terima dari pekerjaan di bank pada masa lalu, anda tidak berdosa karenanya jika anda memang benar-benar belum tahu hukumnya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 15/46)

Syeikh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Jika dia belum mengetahui bahwa hal ini haram, maka baginya semua apa yang telah didapat dan tidak ada dosa, atau karena dia mengikuti fatwa seorang ulama bahwa hal itu tidak haram maka tidak perlu mengeluarkan (harta) apapun, Allah –Ta’ala- telah berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”. (QS. Al Baqarah: 275)

(Al Liqa Asy Syahri: 19/67 sesuai dengan Maktabah Syamilah)

Barang siapa yang mencari harta haram sementara ia mengetahui keharamannya, ia menerimanya atas izin dan ridho dari pemiliknya, seperti; barang yang diterima karena akad yang rusak, gaji pekerjaan haram, keuntungan dari perdagangan haram, gaji melayani perbuatan haram, seperti; persaksian palsu, menuliskan administrasi riba, atau harta suap yang diambil agar yang membayarkannya mendapatkan bagian yang bukan menjadi haknya, atau harta yang ia dapatkan dari hasil judi, undian/lotre, perdukunan dan lain sebagainya.

Maka harta tersebut haram karena pekerjaannya, tidak wajib dikembalikan kepada pemiliknya, sesuai dengan pendapat yang lebih kuat dari kedua pendapat para ulama.

Ibnu Al Qayyim –rahimahullah- berkata:

“Jika uang yang diterima itu atas ridho pemiliknya, sebagai imbalan dari pekerjaan yang haram, seperti penukaran dengan khamr, babi, zina atau perbuatan keji lainnya. Maka dalam kasus seperti ini tidak wajib mengembalikan imbalan tersebut kepada yang membayarnya, karena ia bayarkan berdasarkan keinginannya sendiri, dan telah sesuai dengan pekerjaan haram yang dilakukan. Maka tidak boleh terkumpul padanya uang dan barangnya secara bersamaan, karena kalau demikian justru dianggap membantu perbuatan dosa dan permusuhan, dan memudahkan para pelaku kemaksiatan.

Apa yang diinginkan oleh pelaku zina dan perbuatan keji lainnya, jika ia ketahui sudah mendapatkan tujuannya dan meminta kembali uangnya, maka hal ini termasuk yang akan dijaga syari’at untuk melakukannya, dan tidak baik berpendapat demikian”. (Zaad Al Ma’ad: 5/691)

Menurut mayoritas ulama diwajibkan baginya untuk membebaskan diri dari harta haram tersebut dengan cara mensedekahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin dan untuk kemaslahatan umum lainnya, dan jika ia telah membelanjakannya untuk keperluannya maka tetap menjadi hutang dan beban bagi dirinya, ia tetap wajib untuk mensedekahkan setelah ia mampu membayarnya.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Barang siapa yang telah mengambil uang dari barang yang diharamkan, atau jasa yang telah ia kerjakan, seperti; upah dari kuli panggul khamr, upah dari pembuat salib, upah dari pelaku keji, dan lain sebagainya, maka hendaknya ia mensedekahkannya dan bertaubat dari perbuatan tersebut, dan sedekah dari upah tersebut akan menjadi penebus perbuatan sebelumnya, upah tersebut tidak boleh dimanfaatkan, karena sebagai upah yang tercela dan juga tidak boleh dikembalikan kepada pemilik sebelumnya; karena ia sudah melakukan pekerjaan untuk mendapatkannya dan mensedekahkannya, sebagaimana pernyataan para ulama dalam masalah ini, sebagaimana juga pernyataan Imam Ahmad terkait dengan kurirnya khamr, para penganut madzhab Malik dan yang lainnya juga menyatakan sikap yang sama”. (Majmu’ Al Fatawa: 22/142)

Disebutkan di dalam Al Ikhtiyar lita’lil Al Mukhtar (3/61): “Kepemilikan harta yang tercela cara (membebaskan diri darinya) adalah dengan mensedekahkannya”.

Disebutkan di dalam Fatawa Lajnah Daimah (14/32):

“Jika pada saat bekerja dengan pekerjaan haram ia mengetahui kaharamannya, maka tidak cukup hanya bertaubat akan tetapi diwajibkan untuk membebaskan diri darinya dengan menginfakkannya di jalan dan amal kebaikan”.

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:

“Adapun jika ia telah mengetahui (keharamannya), maka ia membebaskan diri dari riba dengan mensedekahkannya, atau dengan membangun masjid, memperbaiki jalan atau yang serupa dengannya”. (Al Liqa Asy Syahri: 19/67) sesuai dengan Maktabah Syamilah

Ibnu Qayyim –rahimahullah- telah memilih pendapat bahwa jika ia termasuk orang fakir, maka ia boleh mengambil dari uang tersebut sesuai dengan kebutuhannya, lalu berkata:

“Cara membebaskan diri darinya dan bentuk kesempurnaan taubatnya dengan mensedekahkannya, jika ia masih membutuhkannya maka ia boleh mengambil sesuai dengan kebutuhannya dan mensedekahkan sisanya, maka inilah hukum dari semua penghasilan tercela karena buruknya penghasilan tersebut, baik berupa barang maupun jasa”. (Zaad Al Ma’ad:  5/691)

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- lebih cenderung kepada pendapat yang lain, bahwa ia boleh memanfaatkannya dan tidak wajib mensedekahkannya selama ia sudah bertaubat.

“Adapun jika dia sudah mengetahui keharamannya maka membutuhkan pembahasan, maka bisa jadi ia dikatakan barang siapa yang mendapatkan uang dari menjual khamr sementara ia tahu keharamannya, maka baginya bagian yang telah lalu”.

Demikian juga semua orang yang mendapatkan harta haram, lalu ia bertaubat, jika memang disetujui oleh yang membayarnya, diwajibkan seperti itu termasuk mahar dari perbuatan keji dan mahar perdukunan.

Masalah ini tidak termasuk jauh dari ushul syari’ah, karena syari’at telah membedakan antara mereka yang bertaubat dan mereka yang belum bertaubat sebagaimana di dalam firman-Nya:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”. (QS. Al Baqarah: 275)

Allah juga berfirman:

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ ...

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu”. (QS. Al Anfal: 38)

Dan yang menguatkan hal ini, bahwa harta tersebut tidak rusak tanpa perbedaan pendapat, akan tetapi bisa disedekahkan atau dikembalikan kepada pezina, atau peminum yang menjadi pecandu atau diberikan kepada si penerima yang bertaubat tersebut.

Jika diberikan kepada pezina atau peminum maka hal ini tidak terbayang ada orang yang berpendapat demikian, meskipun ada ahli fikih yang berpendapat demikian, karena pendapat ini pendapat yang rusak berlipat.

Adapun pendapat yang menyatakan untuk disedekahkan, maka ada beberapa macam:

Akan tetapi dikatakan, orang yang bertaubat ini lebih berhak kepada harta tersebut dari pada orang lain, tidak diragukan lagi jika orang yang bertaubat tersebut tergolong orang fakir, maka ia lebih berhak dari pada orang fakir lainnya. Untuk hal ini ada banyak fatwa yang telah disampaikan. Jika orang yang bertaubat tergolong fakir, maka boleh mengambil sesuai dengan kebutuhannya karena dia yang lebih berhak dari pada orang lain, dan hal itu akan membantu pertaubatannya, jika diminta untuk mengeluarkannya maka justru akan membahayakannya dan tidak bertaubat. Dan barang siapa yang mentadabburi ushul syari’at diketahui bahwa syari’at itu berlemah lembut kepada manusia dalam hal taubat dengan segala cara.

Demikian juga, tidak ada kerusakan dengan pemanfaatan tersebut, karena uang tersebut telah diambilnya dan sudah tidak ada kaitannya dengan pemilik sebelumnya, dzat uangnya tidak haram, hanya saja diharamkan karena membantu lancanya perbuatan haram, dan hal itu sudah diampuni dengan bertaubat, maka harta itu menjadi halal baginya karena kefakirannya tanpa diragukan lagi, dan jika pelaku tersebut termasuk orang kaya maka ada pendapat uang tersebut diambil darinya, dan dengannya akan mempermudah bertaubat bagi siapa saja yang bekerja seperti itu.

Allah –subhanah- berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”. (QS. Al Baqarah: 275)

Dan Dia tidak berfirman:

“Bagi mereka yang telah masuk Islam, juga tidak mengatakan bagi mereka yang menjadi jelas keharaman perbuatan tersebut.

Akan tetapi Dia berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba)”.

Larangan itu bagi mereka yang sudah tahu keharamannya akan lebih berat dari pada mereka yang belum tau keharamannya. Allah –Ta’ala- berfirman:

يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. An Nuur: 17)

(Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsirin min Ulama: 2/593-596

Dan di dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah (7/285):

Abdullah bin Numair telah meriwayatkan kepada kami, dari Rabi’ bin Sa’d berkata: “Seseorang telah bertanya kepada Abu Ja’far tentang seseorang berkata: “Teman saya telah mendapatkan harta yang haram, lalu harta tersebut sudah bercampur dengan harta miliknya dan harta milik keluarganya. Kemudian ia baru menyadari apa yang telah ia lakukan, lalu ia berhaji dan berada di dekat Ka’bah ini, maka bagaimanakah menurut pendapat anda ?

Ia menjawab: “Pendapat saya, hendaknya ia bertaqwa kepada Allah dan tidak mengulanginya lagi”.

Syeikh Abdurrahman As Sa’di berkata:

“Allah –Ta’ala- tidak menyuruh untuk mengembalikan harta yang sudah diterima dengan akad riba, setelah ia bertaubat. Akan tetapi Dia menyuruh untuk mengembalikan riba yang belum diterima; karena harta tersebut sudah diterima dengan suka rela dari pemiliknya, maka tidak sama dengan harta curian.

Dan karena yang demikian itu akan mempermudah dan memberi semangat untuk bertaubat dari apa yang tidak ada pendapat untuk menghentikan taubatnya dengan mengembalikan perbuatan sebelumnya meskipun sudah terlanjur banyak dan rumit”. (Al Fatawa As Sa’diyah: 303)

Sekarang ini orang tidak lagi peduli dari manakah hartanya berasal, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram. Asalkan mengenyangkan perut, dapat memuaskan keluarga, itu sudah menyenangkan dirinya. Padahal harta haram sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan seorang muslim, baik mempengaruhi ibadahnya, pengabulan do’anya dan keberkahan hidupnya. Di antara pengaruh dalam ibadah yaitu berdampak pada kesahan ibadahnya, seperti pada ibadah shalat, haji atau pun sedekahnya. Karena Allah hanyalah menerima yang thoyyib yaitu yang baik dan halal.

BAGAIMANA HUKUM BERSEDEKAH DENGAN HARTA YANG HARAM?

oleh Admin | Apr 13, 2023 | Inspirasi

Agama Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berbagi dengan sesama, saling tolong-menolong, dan saling memperdulikan satu sama lain. Bahkan, Allah Swt. menggunakan perumpamaan yang indah serta menarik bagi orang-orang yang menafkahkan hartanya untuk jalan kebenaran.

Allah Swt. berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir serratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Mahakuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 261)

Di dalam hadits, bahkan Rasulullah Saw. menyampaikan keutamaan bersedekah yang sangat luar biasa seperti berikut,

“Sesungguhnya sedekah memadamkan murka Allah dan menghindarkan dari kematian yang buruk.” (H.R. Tirmidzi) Tirmidzi menyatakan bahwa hadits ini hasan.

“Sesungguhnya, sedekah seorang muslim akan menambah umur, menghindarkan kematian buruk, dan dengannya Allah menghapus sifat sombong dan angkuh.” (H.R. Baihaqi)

Dengan segala keutamaan bersedekah yang sungguh luar biasa itu, lalu muncul pertanyaan, bolehkah bersedekah dengan harta yang haram?

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah, orang yang bersedekah dengan sumber harta yang haram (misalnya dari korupsi, mencuri, menipu, atau hasil dari usaha haram lainnya), maka Allah Swt. tidak akan menerima sedekah orang tersebut.

Baca Juga: Lailatul Qadar Hadir di Malam Keberapa Ya?

Hal itu dijelaskan dengan lugas dalam Q.S. Al-Mu’minun ayat 51. Di ayat tersebut ditekankan bahwa Allah swt. hanya akan menerima sesuatu hal yang baik, mengingat Allah Swt. merupakan Dzat yang Maha Baik.

“Wahai segenap manusia, sesungguhnya, Allah itu baik sehingga tidak akan menerima kecuali sesuatu yang baik. Sesungguhnya, Allah memerintahkan orang beriman seperti perintah-Nya kepada para rasul. Allah Swt. berfirman, ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mu’minun: 51)

Orang yang bersedekah dengan harta yang haram, maka amal perbuatannya akan tertolak. Sama halnya dengan orang yang berdoa memohon pertolongan ini dan itu kepada Allah Swt, sementara apa yang ia konsumsi serta apa yang ia gunakan untuk hidup bersumber dari harta yang tidak halal.

“Rasulullah Saw. lantas menceritakan ihwal orang yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut dan tubuhnya penuh debu. Ia mengangkat tangan ke arah langit seraya berkata, ‘Ya Tuhanku, Ya Tuhanku’, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan tumbuh dengan barang haram, maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan.” (H.R. Muslim)

Perasaan kamu tentang artikel ini ?

Membersihkan Harta dari yang Haram

Sedekah dengan Harta Haram

Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:

Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.

Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.

Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).

Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).

Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang  lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam, Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad.  Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.

Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)

Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Contoh dari kaedah di atas:

Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)

Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.

Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?

Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu  shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari penjelasan Syaikh Kholid Mihna,

Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram. Wallahu a’lam.

Solusi dan Alternatif

Jika Anda memiliki uang yang diperoleh secara haram, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

Sedekah adalah amalan mulia yang dianjurkan dalam Islam, namun untuk mendapatkan pahala dan keberkahan, sedekah harus dilakukan dengan harta yang halal. Harta yang diperoleh secara haram tidak layak digunakan untuk sedekah, karena amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memastikan bahwa setiap amal perbuatan dilakukan dengan cara yang benar dan dengan sumber yang halal.

Dengan memahami hukum sedekah dengan uang haram, kita dapat lebih berhati-hati dalam mengelola dan menggunakan harta kita agar sesuai dengan ajaran Islam dan memperoleh ridha dari Allah.

#SahabatHebatLaju saudara mari sucikan harta mu dengan sedekah dengan cara KLIK DISINI

Atau dengan klik gambar di bawah ini:

BERTAUBAT DARI HARTA HARAM

Oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA

Pendahuluan Alhamdulillah, selawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Hidup di masyarakat yang heterogen seperti di negeri ini tentunya memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen. Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan, peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak kesempatan Anda tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk sekedar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.

Coba Anda bayangkan, ketika Anda belanja di supermarket, Anda menyaksikan khamar, daging babi, dan berbagai barang haram lainnya diperjualbelikan. Atau mungkin pula ketika sebagai penjual, Anda mengetahui dengan yakin bahwa mata pencaharian calon pembeli anda menyimpang alias haram secara syariat. Kondisi semacam ini tentuk mengusik ketenangan batin Anda, sehingga Anda meragukan status halal keuntungan yang Anda peroleh dari bertransaksi dengan mereka.

Alasan Suatu Harta Diharamkan? Secara hukum syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:

Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bangkai, babi, khamar dan yang semisal. Allah Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [al-Ma’idah/5 :3]

Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada bedanya antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan cara membeli, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya.

Sahabat Anas ibn Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, sahabat Abu Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.”[1]

Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan.

Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman khamar untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْ بَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا

“Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.’”[2]

Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُو مَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya”[3]

Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tidak berubah walaupun di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang daging babi yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis tinggi.

Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi, namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya. Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Quran al-Karim benda-benda haram disebut dengan al-khabais (benda-benda kotor).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf/7: 157]

Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia.[4]

Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang, maka keharamannya hanya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas pencuriannya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka haram atas koruptornya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari satu arah. Sebagimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang ditegaskan pada ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah /2: 278-279]

Cermatilah bagaimana pada ayat dia atas dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan agar para Rentenir membatalkan bunga/riba yang telah mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain dan juga tidak dizalimi atau dirugikan.

Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal.

Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah Radhiyallahu anhu tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda:

فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ

“Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?”[5]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upah itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya. Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya sebagai upah atau harga barang dagangannya.”[6]

Penjelasan al-Imam Ibnu Taimiyyah ini selaras dengan praktik Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu. Suwaid ibn Gafalah mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu mengadukan kepada Amirul Mukminin perihal beberapa pegawainya yang memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat laporan ini, segera Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu mengeluarkan perintah:

لاَ تَأْ خُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ

“Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam) memperjual belikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.”[7]

Al-Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu dan selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar Radhiyallahu anhu. Sebagai solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan pajak tanah dari hasil penjualan khamar dan babi tersebut, selama yang menjualnya ialah orang-orang kafir tersebut. Alasan beliau membuat keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.”

Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang berbunyi:

تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ

“Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.”[8]

Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam sebagaimana dijelaskan di atas.

Cara Bertaubat Dari Kedua Jenis Harta Haram Adapun cara bertaubat dari dosa memiliki atau mendapatkan kedua jenis harta haram tersebut di atas maka dengan cara:

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 279]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَأْ خُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاجَادًّا وَإِذَا أَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ

“Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekedar bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.”[9]

Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأِحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham. Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya. Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya.[10]

Namun, bila Anda tidak dapat mengembalikannya kepada pemiliknya karena suatu alasan yang dibenarkan secara syariat, maka sedekahkanlah harta tersebut atas nama pemiliknya. Dengan cara ini, berarti Anda menyiapkan diri dengan menabungkan pahala sebesar hartanya yang Anda ambil. Dengan demikian, bila kelak ia menuntut haknya di hari Kiamat, maka Anda telah menyiapkan pahala sedekah sebesar hartanya yang Anda ambil dengan cara-cara yang tidak benar, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas.

Demikian paparan singkat dan sederhana tentang tata cara bertaubat dari memiliki atau menggunakan harta haram. Semoga paparan singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi Anda.

Wallahu Ta’ala a’lam bi al-sawab.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 6, Tahun ke-13/Muharram 1435. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim (61153). Telp & Fax 0313940347, Redaksi 081231976449] _______ Footnote [1] HR Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya [2] HR Muslim [3] Muttafaq ‘alaihi [4] Tafsir Ibnu Katsir 3/488 [5] Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, dan lainnya [6] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/330 [7] Riwayat Abu ‘Ubaid dalam kitabnya al-Amwal riwayat no. 115, ‘Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Musannaf 6/23, dan lainnya [8] al-Qqwa’id wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah al-Mutadamminah li al-Taisir 1/71 [9] Ahmad 4/221 dan lainnya [10] al-Bukhari hadits no. 2317